Bulan April menurut saya adalah bulan mengelabui, yang pertama tanggal 1 April yang diperingati sebagai April Mop atau April Fools, dimana orang-orang seperti sah mengeluarkan sisi kebandelan dan keisengan mereka, seperti aji mumpung, mumpung lagi dibolehin, yang berikutnya adalah hari Kartini, harinya para perempuan, harinya mereka berteriak EMANSIPASI, berusaha mengelabui gendernya sendiri. Oke, kenapa saya bisa bilang mengelabui gendernya sendiri? Mari kita obrolin satu persatu.
Sekarang kalau sayatanya siapa tokoh emansipasi di Indonesia, pasti kalian semua pada jawab Kartini, dong? Seorang perempuan yang suka baca Max Havelaar yang kebetulan anak orang kaya yang kebetulan juga dijadikan istri ke-3 oleh bupati Rembang yang kebetulan juga diizinkan mendirikan sekolah khusus perempuan sama suaminya, oh wait, ini semua bukan kebetulan, Kartini emang gigih dalam memperjuangkan itu semua dan didukung oleh materi yang mumpuni, terdengar realistis, enggak? Knowledge dan uang, kombinasi yang bagus. Anak orang kaya yang bukan spoiled brat. Bagus, bagus.
Tapi, ya, saya waktu masih duduk di bangku SMP pernah bertanya (sekarang masih, sih), kenapa pahlawan Kristina Martha Tiahahu enggak ada hari nasionalnya kaya Kartini, gitu? Kan Kristina Martha Tiahahu keren, bayangin aja, cewek, masih remaja udah pernah ngerasain jadi kapten perang, bertempur di Pulau Saparua, berhasil ngebunuh komandan Belanda, Richement, pernah backup pasukan Patimura juga, ditangkep berkali-kali, pernah dijadikan budak, lepas lagi, enggak kapok, perang lagi. Kurang keren apa coba?! Nah, kalau Kartini sendiri perjuangannya surat menyurat sama teman korespondennya di Belanda, rajin baca buku, udah gitu yang bikin buku Habis Gelap Terbitlah Terang bukan beliau, tapi J.H Abendanon. Gimana, tuh? Ya sama aja, sih, perjuangan juga, mungkin bisa diibaratkan kaya dua manusia, yang satu seorang cuma nyiyirin politik di medsos dan yang satu lagi berani turun ke jalan. Gitu kali, ya?
Nah, ngomongin soal perjuangan Kartini yang memperjuangkan kaum perempuan, biasnya terasa sekali dan semakin kuat pada jaman sekarang ini, bahkan cenderung kehilangan arah. Melakukan sebuah jokes dewasa yang melibatkan perempuan, pasti diteriakin, dicemooh, tapi kalau jokes dewasa tersebut melibatkan laki-laki, mereka pada ketawa. Jokes gender soal cewek sama dengan seksis, jokes gender soal cowok sama dengan lucu. Seperti jokes dengan menggunakan logat cina, dibilang rasis, tapi kalau jokes menggunakan logat tegal, lucu.
Kata emansipasi sudah kehilangan arah, sebagian keinginan bukan untuk setara, tapi ingin gendernya lebih unggul. Terlena sama yang namanya diperlakukan istimewa, dengan jargon Ladies First yang menjadi boomerang yang berarti bahwa perempuan adalah kaum yang lemah, peraturan Ladies Parking yang seakan mengisyaratkan bahwa perempuan enggak punya semangat dan kekuatan yang sama dalam berjalan kaki menuju pintuk masuk mall, etika tidak memberikan tempat duduk di bis kepada perempuan yang pada akhirnya sang lelaki mendapat predikat “Enggak Gentleman”. Mendahulukan seseorang untuk mendapatkan keistimewaan bukan gender yang menjadi tolak ukur, melainkan orang-orang seperti ibu hamil, penyandang disabilitas atau lansia, jadi sekali lagi bukan gender.
Ngomongin soal kesetaraan gender, menurut saya, jikalau ingin perempuan setara dengan laki-laki yang harus dilakukan adalah menghapuskan peraturan yang sifatnya boomerang bagi kesetaraan itu sendiri, seperti “Ladies Parking”. Saya pribadi enggak setuju sih ada peraturan ini, seperti mengisyaratkan bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang harus parkir mobil dekat dengan pintu masuk mall. Saya yakin perempuan punya semangat yang sama dengan laki-laki dalam berjalan kaki. Terkecuali jika perempuan itu hamil, mungkin peraturan “Ladies Parking” diganti dengan “Pregnant Women Parking”. Lebih manusiawi.
Tapi seringkali gender menjadi senjata bagi masyarakat ignorant. Pernah suatu hari saya naik BRT, sisa satu kursi dan saya duduk di situ. Tak lama kemudian naiklah cewek yang berdandan ala anak kuliahan, dia berdiri di sebelah kursi saya karena enggak kebagian tempat duduk. 5 menit berlalu, tiba-tiba dia ngomong ke saya dengan nada agak tinggi “Mas, enggak punya otak ya? Cewek diri dikasih duduk, kek! Enggak gentleman banget sih!”, lalu saya jawab dengan nada santai “Emang kenapa kalo situ cewek? Harus dikasih tempat duduk? Situ masih sehat walafiat, kecuali kalo situ hamil atau sakit baru saya kasih. Situ hamil?”
Begini, bukan permasalahan dia cewek dan saya harus kasih tempat duduk. Sekali lagi kalo dia memang hamil atau sakit saya akan kasih dengan sukarela. Enggak harus cewek, cowok sakit ataupun opa-opa tua renta yang terlihat enggak sanggup berdiri pun akan saya kasih. Inilah salah satu contoh kasus ketika perempuan menggunakan keperempuanannya untuk “menindas”.
Enggak akan pernah terjadi kesetaraan gender jikalau perempuan harus diperlakukan prioritas. Maka dari itu saya enggak pernah percaya juga sama yang namanya jargon “Ladies First”. Membukakan pintu untuk perempuan, mempersilahkan perempuan untuk keluar lift terlebih dahulu, atau menarik kursi untuk perempuan. Terus, kalo enggak diperlakukan seperti itu mereka akan bilang “Kan saya cewekkkk, kok kalian gitu, sih?!”. Girls, percaya deh. Semakin kalian diperlakukan Ladies First, semakin kalian dianggap lemah.
Sayangnya, secara enggak langsung diskriminasi gender itu saya alami sebagai laki-laki, banyak hal yang seolah sah jika dilakukan oleh perempuan tapi enggak buat laki-laki. Cewek masang avatar Twitter mamerin cleavage, pasti banyak followersnya. Cowok masang avatar topless, paling disangka gay. Atau cewek ngetwit porno, dianggap perfect, tapi kalo cowok ngetwit porno, disangka pervert. Cowok blak-blakan ngajak ‘tidur’ cewek, dibilangnya buaya darat, tapi kalo cewek blak-blakan ngajak ‘tidur’cowok, dibilangnya budaya barat.
Komentar
Posting Komentar