Sebelum saya ngomong, saya mau tanya sesuatu buat kamu yang baca tulisan ini, suka makan, enggak? Hobi makan? Atau kamu makan cuma ngisi waktu luang aja pengganti ngisi TTS? Taruhan sama saya disini pasti butuh yang namanya makan, terkecuali jikalau kamu adalah kaktus. Bagi saya, makan adalah sebuah ibadah spiritual, ritual harian yang sangat intim, mendekatkan diri kita kepada alam, sebuah proses yang sangat konstektuil dari sebuah benda padat menjadi energi. Intinya, kalo saya enggak makan, sama aja kaya saya enggak ibadah. #Asek
Saya adalah orang yang suka semua jenis makanan, dengan catatan: situasional. Dalam artian begini, saya percaya yang membedakan orang kaya dan miskin adalah satu hal, pilihan, orang kaya adalah orang yang bisa memilih satu dan lainnya bahkan sampai punya banyak opsi, sedangkan orang miskin adalah orang yang enggak punya pilihan sama sekali. Konteksnya bukan sekedar uang, tapi sekali lagi pilihan. Kalo saya enggak punya pilihan, ya saya akan makan apapun itu, tapi kalo saya bisa memilih, saya enggak akan makan ikan disayur atau gulai. Eneg.
Tapi ternyata di jaman sekarang yang dipenuhi dengan berbagai macam orang-orang dari berbagai kelas sosial ngehek, banyak yang menjadikan makanan sebagai guilty pleasure. Habis ngegym seharian, terus makan, terus ngerasa bersalah, terus tiba-tiba jadi ahli matematika dengan skill pandai menghitung kalori yang didapat lalu timbul kebingungan bagaimana cara membuangnya. Mengidam-idamkan makanan sehat tapi males masak sendiri terus langganan catering diet mayo bela-belain menghabiskan seperempat gajinya lalu kemudian sadar akan harganya yang mahal dan berakhir di mie instan dan kemudian marah-marah sendiri. Mengidam-idamkan punya bentuk badan bak model Victoria’s Secret tapi males olahraga alhasil diet mati-matian, anti nasi-anti karbo-anti gula, makan dikit sesuap aja setiap hari lalu kemudian badan lemes, muka pucat, mulut kering bau kulit dompet, lalu marah-marah.
Ngehek, kan?
Pertanyaannya, kenapa makanan suka dijadiin guilty pleasure? Jawabannya adalah karena manusia suka akan yang namanya drama dan drama sering terjadi ketika malam hari. Update status Twitter/Path teriak lapar, lalu kemudian posting foto mie instan double pake telor dengan caption “Feel Guilty! :(“. Menahan lapar dengan kemasan gerutu lalu menyerah dengan telepon layanan antar restoran cepat saji, lalu menyesal. Saya menilai (yang kebanyakan adalah perempuan), mereka ini sangat senang terlihat melanggar program diet, sangat senang dibilang kurus tapi rakus, selalu merasa gemuk padahal badannya tipis, setipis lidi pedes.
Sebenarnya kunci dalam semua masalah ini adalah satu, makanlah ketika butuh, bukan ketika mau. Mau diet ya terserah, mau rakus ya terserah juga, mau enggak makan ya lebih terserah lagi, kamu ini yang laper bukan saya. Tapi satu hal, hidup ini sebenarnya simpel, tinggal memilih ‘iya’ atau ‘enggak’, yang bikin ribet adalah ketika muncul kata ‘tapi’.
Selamat makan
#SalamSekut!
Komentar
Posting Komentar